Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta dan benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi, apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini.
Dalam Islam,
cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan
ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, “Jika kamu benar-benar mencintai
Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu” (Qs.3:31-32).
Salah
satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah,
mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah
dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim.
Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum
misalnya, hanya karena benci kepada mereka (Qs.5:8).
Ajaran
cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim.
Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW.
bersabda, “Hakikat seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya,
sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri” (HR. Imâm Bukhârî).
Kecintaan
yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari
itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan
belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya,
kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran,
juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul
dilakukan (al-Hadits).
Ekspresi
sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad
adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain,
bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua
kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud
berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa
fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.
Benci
yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya,
“Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan
memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar” (HR. Abû
Dâwûd).
Wajah
seorang muhâsid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang
mengadu-domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama
dalam menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwân). Mereka diancam Nabi SAW. tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia (HR. Bukhârî-Muslim).
Dalam
konteks Islam, shilat-u ar-rahmi (shilah, menghubungkan; dan rahmi,
berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan
perdamaian dan keharmonisan hidup antarinsan. Inilah inti rahmat-an
lil-‘âlamîn; mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan
rahmat, sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan
azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih
perpecahan dan perselisihan (Bulûghu ‘l-Marâm, 2000; 496).*
Agar
kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah
mengajarkan, “Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian),
berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan,
dan shalatlah Tahajjud pada sepertiga malam (introspeksi), niscaya kamu
akan masuk surga dengan damai” (HR. Imâm Tirmidzî).
Demikian
sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan
kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain
selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u al-Bârî I; 76-86). Wallâhu a’lam
** Dari Anas ra. Allah berfirman, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menahan amarahnya, maka Allah akan menahan azab-Nya” (HR. Thabrânî, Bulûghu ‘l-Marâm, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Dâr-u Ibn-u Hazm: 2000, hal. 496).
0 komentar:
Posting Komentar